Kalimat Tauhid Itu Mulia, Hati-Hati, Jangan Menjadikannya Sebagai Alat Propaganda

Kenapa kita jarang sekali menemukan lambang-lambang yang bertuliskan kalimat tauhid di beberapa acara yang diadakan pesantren? Coba lihatlah saat ada pertunjukan imtihan, haul, maulid akbar, haflah, pawai ta'aruf, istighotsah, dan lain sebagainya. Sangat jarang sekali kita melihat kalimat tauhid tertulis di spanduk, kaos, bendera, koko, peci, sorban sekalipun, apalagi sampai ikat kepala.

Ada apa? Mengapa? Apa ada yang salah? Bukankah kalimat tauhid itu luhur dan agung? Apakah kalangan pondok pesantren kurang dalam ghirah keislamannya? Apa mereka santri tidak begitu bangga dengan ketauhidannya? Atau malah mereka jangan-jangan tidak suka tulisan kalimat tauhid?

Sebelum Anda menebak yang bukan-bukan, ada satu hal yang harus dipahami secara seksama. Justru para santri dan kyai itu mungkin lebih akrab dengan kalimat tauhid daripada diri kita yang setiap waktu setiap hari setiap detik memakai ikat kepala bertuliskan lafal atau kalimat tauhid. Selain dikumandangkan lima kali sehari di saat waktu adzan tiba, kalimat tauhid juga seringkali diwiridkan dan diendapkan ke dalam kalbu dan alam bawah sadar mereka secara berjama'ah setiap kali setelah sholat selesai.

Akan tetapi mengapa jarang banget terlihat simbol-simbol kalimat tauhid di acara-acara mereka?

Saya disini tidak begitu suka membahas tentang keributan-keributan mengenai simbol kalimat tauhid yang lagi ramai dibicarakan di media sosial. Tidak juga mau membahas penggunaan bendera tauhid sejak masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat, sampai peran politisnya di zaman sekarang. Postingan ini hanya sebuah tulisan ringan yang hanya sekedar menguak dan menjelaskan satu tradisi kaum pesantren yang berkaitan dengan pelabelan kalimat tauhid di mana-mana. Yaitu sebuah tradisi ikhtiyath; kehati-hatian dalam ilmu fiqih.


Ikhtiyath dapat kita artikan sebagai tradisi moral di kalangan santri dalam berfiqih. Ikhtiyath inilah yang membuat mereka para santri membuat sebuah kobokan atau kubangan berisi air untuk kaki di luar tempat wudhu sebelum masuk ke dalam masjid, dan memilih memakai mukena terusan daripada mukena yang model potongan, melafalkan niat sholat sebelum melakukan takbiratul ihram, dan secara bersama-sama melafalkan niat puasa setelah sholat taraweh, dan juga memakai sandal khusus  dari toilet sampai ke tempat sholat di rumah.

Apalagi dalam hubungannya dengan kalmat tauhid. Ada rasa kehati-hatian di dalam fiqih bagi kalangan santri agar tidak sembrono dalam meletakkan kalimat tauhid tersebut di sembarang tempat. Bagi kalangan santri, kalimat tauhid adalah sesuatu yang begitu sangat luhur. Ia tak boleh tercecer, terbuang, tergeletak, maupun bertempat di lokasi yang kotor apalagi najis.

Dan jika kalimat tauhid ditulis atau dicetak di pakaian semisal kaos, topi, baju, atau bandana, dikhawatirkan dapat bercampur dengan najis ketika dicuci. Apabila dicetak di spanduk-spanduk atau bendera temporer, dikhawatirkan akan terbuang atau tercampakkan sia-sia sewaktu-waktu. Dan kalau dimasukan atau dicantumkan di lambang pesantren, akan sangat menyulitkan apabila dibuat undangan, kartu syahriah, baju almamater, dan lain sebagainya. Apalagi kalimat tauhid dicetak di stiker-stiker. Di tempat-tempat tersebut, kalimat tauhid bisa sangat begitu rawan untuk dicampakkan atau diabaikan.

Bagi kalangan santri, kalimat tauhid hanya boleh dicantumkan di tempat-tempat khusus yang sekiranya bisa terjaga kehormatan kalimat tauhid itu sendiri. Semisal seperti panji peperangan yang tentunya akan dijaga kibarannya hidup ataupun mati. Seperti kisah dramatis Sayyidina Ja'far Ath-Thayyar. Atau bendera kerajaan yang tentu akan dirawat dan selalu dimuliakan, seperti halnya yang bisa kita lihat di kasunanan Cirebon.

Almarhum simbah Kyai Zainal Abidin Krapyak Jogja termasuk sosok yang sangat ketat dalam perihal ikhtiyath perkara tauhid. Beliau selalu menutup mata apabila lewat di Jalan Magelang yang di kiri dan kanannya banyak patung-patung 'makhluk bernyawa'. Beliau selalu memalingkan mukanya apabila ada tanda palang saling di depannya. Mengotori iman kata beliau. Kalimat tauhid tidak lagi berkibar di spanduk, bendera, ataupun di ikat kepala. melainkan sudan terpatri dengan kuat di dalam sanubari beliau.

Kalimat tauhid bagi Simbah Zainal, sama sucinya dengan mushaf Al-Qur'an. Bahkan dingklik atau tatakan kayu yang biasa dipergunakan untuk baca Al-Qur'an pun beliau muliakan. Pernah suatu ketika mau sholat jama'ah Isya' di bulan Ramadhan, ada satu dingklik yang tergeletak di belakang orang yang akan sholat. Ketika beliau melewatinya, dingklik itu beliau pindahkan ke samping orang yang mau akan sholat agar tidak dibelakangi dingklik itu.

Bahkan juga tulisan 'almunawwir' pun sangat beliau muliakan, seperti yang dikisahkan oleh Kang Tahrir, santri ndalem Simbah Zainal. Memang sudah biasa di Krapyak, kami membuat stiker kecil yang bertuliskan 'almunawwir community'. Agar berfungsi untuk menandai kendaraan kang santri sehingga agar mudah dikenali. Biasanya dipasang tepat di spedometer, plat nomor, ataupun di bodi sepeda motor.

Nah, menurut penuturan Kang Tahrir, Simbah Zainal tak berkenan jika melihat ada kata 'almunawwir' terpasang di selebor, lebih rendah dari lutut manusia, atau tempat-tempat lain yang tidak pantas. Biar bagaimana pun, 'almunawwir' adalan nama pondok pesantren sekaligus nama pendiri ponpes tersebut yang merupakan Ulama Besar Ahli Al-Qur'an, yaitu Simbah Kyai Muhammad Munawwir bin Abdullah Rosyad.

Sedemikian hati-hatinya sikap beliu terhadap nama 'almunawwir'. Terlebih terhadap ayat-ayat suci Al-Qur'an hadits Nabi, dan kalimat tauhid. Maka dari itu, bagi sahabat-sahabat yang lagi hobi menunjukkan indentitas keislaman dengan atrbut kalimat tauhid, dimohon untuk menjaga dengan baik agar benda-benda yang bertuliskan kalimat tauhid itu tidak tercampakkan begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar